Bagi sebagian orang, jejeran tanaman bakau di tepi pantai hanyalah pemandangan biasa. Mengingat fungsi utama dari tanaman tersebut memang sebagai penahan abrasi. Berbeda dengan Lulut Sri Wahyuni. Berkat tangan dinginnya, tanaman berakar tunggang ini bisa diolah dan dimanfaatkan untuk yang lainnya.
“Saya tidak pernah membayangkan saya akan menjadi seperti saat ini. Sebab, kalau mengingat seperti apa saya dulu, sepertinya ini semua mustahil,” paparnya lantas tertawa.
Memberikan workshop di hadapan para aktivis lingkungan dari 14 negara, mungkin tak pernah terpikirkan oleh Lulut. Sebab, wanita yang genap berusia 52 tahun, pada awalnya hanyalah seorang aktivis yang memperjuangkan korservasi mangrove di lingkungan Surabaya.
Dia menceritakan bahwa apa yang dia dapatkan sekarang berawal dari nol. Berangkat dari keprihatinan terhadap nasib para aktivis lingkungan yang merasa tidak dihargai kinerjanya. Tepat pada tahun 2007, Lulut mulai menanamkan sebuah prinsip kepada sesama aktivis lingkungan. “Kita (aktivis) bisa sejahtera dari lingkungan,” tegasnya.
Dengan bermodal tekad itulah, Lulut mulai memikirkan manfaat lain dari tanaman bakau, yang tentu saja dapat menghasilkan nilai ekonomi. Selang beberapa waktu, akhirnya tecetuslah ‘batik mangrove’.
Setelah tercetusnya ide pembuatan ‘batik mangrove’ itu, tidak serta-merta langsung berjalan mulus. Justru perjuangan Lulut baru saja dimulai. Berbagai macam kesulitan dan halangan satu per satu berdatangan.
“Awalnya saya sampai dikucilkan di kampung. Bahkan pernah ketika saya hendak pergi mengisi workshop di Universitas Indonesia (UI), mobil saya dihadang oleh dua orang laki-laki mengancam dengan membawa parang. Tapi ya mau bagaimana lagi, saya sendiri yang memilih jalan seperti ini dari awal,” ungkap pembina Koperasi Griya Teras Kusuma itu.
Tak hanya mendapat ancaman pembunuhan, Lulut juga tidak mendapatkan dukungan dari pihak pemerintah setempat. “Bahkan kecamatan, pemkot sampai pemrov pun tidak mendukung kegiatan saya”.
Namun perjuangannya selama 7 tahun itu, kini telah membuahkan hasil. Dua tahun belakangan, Lulut aktif menjadi pembicara di berbagai pelatihan bertemakan pemanfaatan tanaman bakau. Dia juga sempat berujar bahwa antara konservasi dan fungsi lain tanaman bakau tersebut sejatinya memiliki kolerasi.
“Jadi tanaman bakau itu tidak hanya dijadikan sebagai penahan abrasi saja. Ada fungsi lain yang masyarakat perlu tahu. Salah satunya adalah mengenai pewarnaan batik yang berasal dari ampas pengolahan sabun,”kata Lulut.
“Mangrove (kumpulan tanaman bakau) perlu kita perjuangkan konservasinya mengingat semakin banyaknya pembalakan liar dan kita juga jeli melihat peluang bisnis di dalamnya. Jadi semuanya berjalan beriringan,” sambungnya.
Memang sejak tahun 2007, aksi pembalakan liar semakin marak terjadi di Surabaya. Belasan ton kayu mangrove dijual kepada pengepul tanpa memikirkan akibat dari perbuatan tersebut. Padahal selain sebagai penahan abrasi,mangrove juga merupakan cadangan oksigen, serta rumah bagi biota-biota laut di dalamnya tentu itu akan sangat merugikan.
Untuk itu, meskipun Lulut kini lebih banyak memanfatkan bakau sebagai objek yang menguntungkan baginya, dia tak pernah lupa bahwa disamping untuk mencari keuntungan dia juga tetap harus memikirkan kelestarian lingkungan di sekitarnya.
Setiap produk yang dihasilkan, sejatinya selalu memiliki alur yang sebisa mungkin tetap ramah lingkungan. “Kalau untuk batik mangrove sendiri, urutan pengolahan produk tanaman bakaunya dimulai dari: Sirup – permen – sabun – warna batik – kompos,” ungkapnya.
Lulut menambahkan, harapan kedepannya terhadap kegiatan ini adalah agar masyarakat Indonesia khususnya Surabaya dapat lebih mencitai alam. Selanjutnya, dia juga berencana mendirikan sebuah galeri yang berisikan produk-produk hasil olahan mangrove serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang konservasi dengan rutin melakukan workshop. (N/F: Wulan)