Actasurya.com – Menjelang Pilpres 2019, banyak peristiwa terjadi. Akhir-akhir ini kita menyaksikan peristiwa saling serang dari ke dua kubu. Ujaran kebencian pun tidak lepas dari perististiwa-peristiwa itu. Di Surabaya, Ahmad Dhani mendapat perlawanan dari massa yang menolak deklarasi #2019GantiPresiden. Perlawanan itu dilakukan karena massa tidak terima pada perkatan Dhani yang menyebut mereka idiot.
Saling serang terus berlangsung, bahkan hampir disemua aspek. Di kalangan ulama sampai dibawa ke majelis-majelis. Bahasa kampanye bercampur dengan ayat-ayat, terkadang kalimat hinaan. Banyak sentimen politik yang berbau sara. Lalu, fenomena seperti ini akhirnya menjadi momen pertikaian yang dimanfaatkan dengan baik oleh kedua belah pihak.
Saya duduk di bagian belakang ruangan Caesar Palace Lt. 24, Hotel Garden Palace di Surabaya, menyimak Mahfud MD, Ust. Yusuf Mansur dan Faisal Basri, Ekonom, berbicara di panggung mengenai fenomena tersebut dalam sebuah seminar bertajuk #2019PilpresCeria, Senin (17/09). Moderator menyebut ketiga pembicara tersebut mewakili dari ketiga persepsi: hukum, agama dan ekonomi.
Mahfud MD memberikan persepsinya bahwa pemilu 2019 nanti harus dihadapi dengan ceria. Ia melihat keadaan sekarang memang sedang gaduh, tapi menurutnya itu adalah bagian dari demokrasi yang harus dihadapi.
“Kami berdiskusi untuk membuat pemilu jadi ajang yang ceria, tidak saling menyalahkan apalagi sampai menghilangkan persaudaraan,” jelasnya.
Faisal Basri, menjelaskan tentang utang Indonesia hanya untuk infrastruktur. Menurutnya, utang luar negeri itu digunakan untuk banyak hal, seperti gaji pegawai. Poin yang ditekankan adalah data. Masyarakat tidak boleh percaya begitu saja pada omongan politisi. Harus disiplin dalam megkonfirmasi.
Lalu, Yusuf Mansur, dalam kesempatan itu ia banyak bercerita, terutama tentang kesuksesannya membangun Paytren, perusahaan yang bergerak di bidang investasi. Singkatnya, ia banyak berbicara tentang mudahnya membeli sesuatu yang besar, yang selama ini kita anggap masih utopia. “Beli jalan tol, easy, easy,”katanya. Tapi intinya, ia menumbuhkan dan menunjukkan bagaimana kekuatan kebersamaan. Karena dengan kebersamaan itu ia bisa membeli apa pun.
Cara Memberitahu ke Masyarakat
Masalahnya sudah ketebak. Solusinya pun sudah ada. Tapi bagaimana menerapkan kepada masyarakat bahwa pemilu harus dilaksanakan dengan ceria?
Di sesi diskusi muncul pertanyaan itu dari salah satu peserta.
“Bagaimana saya menjelaskan hal-hal tadi kepada saudara saya yang dari Solo yang basisnya Jokowi dan saudara saya dari Pati, banyak afiliasi Prabowo?”
Artinya, di wilayah akar rumput, masyarakat sangat susah diberi pemahaman.
Akar permasalahannya adalah feodal. Dalam Demokrasi, Komunikasi Politik Indonesia dan Globalisasi: Identifikasi dan Harapan Perencanaan Ulang (2015), Aa Bambang A.S., menjelaskan bahwa dasar perencanaan dan pengembangan komunikasi politik demokratis khas Indonesia memiliki karakter dominan budaya komunikasi politik feodal, didominasi oleh kaum priayi sebagai komunikator.
Maka sebenarnya, tidak mengherankan politik di Indonesia diramaikan oleh ceramah-ceramah agama yang bercampur dengan kampanye. Tapi itu bisa dibalik, bahwa agama bisa menjadi jalan yang baik untuk mendidik politik masyarakat Indonesia. Salah satu upaya pengembangan budaya politik yang bisa dilakukan menurut Bambang adalah mengitegrasikan tokoh baru yang bisa memberi harapan dalam komunikasi politik khas indonesia tadi.
Dalam pandangan Mahfud MD, faktor tersebut ada pada tokoh-tokoh menengah di Indonesia. Ia mengatakan bahwa butuh orang-orang yang memang bergerak di masayarakat. “Orang yang memberitahu mereka adalah orang-orang yang dekat dengan mereka, yaitu tokoh-tokoh menengah seperti Anda,” katanya sambil menunjuk peserta yang bertanya.
Ketidakadilan Masih akan Ada, Tapi Jangan Golput
Mahfud pernah mengulangi penyataan ini di salah satu forum diskusi, bahwa kenapa sering terjadi demo, pergerakan massa yang saling keos dan bentuk pertikaian lainya, itu karena banyak yang merasa tidak adil. Apalagi banyak yang melakukan demo berasal dari pelosok-pelosok.
Bicara keadilan, Faisal Basri melihat masyarakat saja yang kurang bersyukur. Jika dilihat dari tahun ke tahun, gaji pegawai tidak pernah turun, bahkan cenderung naik. Menurutnya, masyarakat dilanda oleh krisis data. Banyak orang begitu saja percaya pada pemberitaan yang ternyata tidak sesuai dengan data yang ril.
Yusuf Mansur punya solusi bagaimana membuat kesejahteraan di Indonesia. Membuat perusahaan yang menampung dana dari seluruh masyarakat. Tetapi solusi itu ternyata belum bisa dipakai untuk menangani solusi utang laur negeri.
“Masyarakat masih berserahkan. Susah untuk menghimpun kekuatan. Kita ini menang jumlah tapi berserahkan,”jelas Faisal.
Dalam Negara paripurna, Yudi Latif (2011), mengatakan perwujudan keadilan sosial sangat ditentukan oleh integritas dan mutu para penyelenggara negara- disertai dukungan rasa tanggung jawab dan rasa kemanusiaan yang terpencar pada setiap warga.
Di negara ini penyelenggara negara masih ada yang korupsi, artinya integritas masih jauh, masih banyak kekurangan. Masyarakat juga masih suka marah-marah. Padahal mereka harus selalu menyadarkan diri dengan sifat kemanusiaan, kalau kata Yusuf Mansur “menumbuhkan rasa Happy Inside.”
Tetapi toh, negara ini harus tetap berjalan juga. Seperti yang dikatakan oleh Mahfud: “Setiap orang yang sudah wajib memilih harus punya pilihan. Negara ini harus tetap jalan, itu yang penting. Jangan golput.”
(N/F: Ebi)