actasurya.com – “Hidup tak hanya kalah dan menang
Kehidupan tak cukup sekedar putih dan hitam
Untuk tetap hidup tak cukup berbekal dari kesimpulan
Agar kehidupan tetap hidup harus penuh kesadaran”
Puisi tersebut adalah salah satu buah karyanya. Mempunyai bakat menulis puisi, menulis naskah drama dan menjadi pendiri sebuah sanggar tak dengan mudah ia capai. Bagi Totenk Mahdasi Tatang Rusmawan, semua itu ia dapat dari perjalanan hidupnya selama ini.
Tubuhnya yang tinggi, rambut sebahu dan bergelombang, serta pakaian santai yang ia kenakan sesuai dengan karakternya yang santai pula. Pria yang akrab disapa mas Totenk ini sering sekali disebut sebagai seniman. Namun, ia menepis asumsi itu. “Kalau saya sendiri sih tidak mengatakan bahwa saya seorang seniman, tapi lebih tepatnya saya seorang aktivis,” cakap pria berambut panjang itu.
Ia adalah putra dari pasangan petani dan juru rias pengantin tradisional Sunda. Tumbuh dan berkembang di keluarga yang sangat kental akan seni, menimbulkan rasa cintanya pada dunia kesenian. Ditambah lagi dengan sang ayah yang memiliki grup seni Jaipong, membuat dirinya semakin tertarik akan dunia seni.
Pria yang lahir di Tanah Pasundan ini, mulai belajar seni sejak lulus SMA (Sekolah Menengah Atas). Setelah kelulusan, ia memilih STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) di Bandung sebagai lanjutan pendidikannya. Di kampus seni tersebut, ia memutuskan jurusan teater sebagai konsentrasi yang akan dijalani,
Namun, di awal perjalanan kuliahnya, dirinya mengaku tengah berada di titik kebimbangan. Totenk merasa belum menemukan passion dan jati diri. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti melanjutkan kuliah yang masih semester 1 itu.
Di penghujung tahun 2005, pria yang lahir pada 31 tahun silam tersebut, memilih meninggalkan Bandung menuju Depok untuk bergabung dan tinggal di Bengkel Teater Rendra. Di sanggar tersebut ia mulai mendalami dunia seni. Mulai dari belajar bermain drama, membaca puisi, menari dan bermain alat musik.
Selama lebih kurang tiga tahun ia menjadi salah satu anggota dari Bengkel WS Rendra. Kemudian, ia memutuskan untuk hijrah ke Jogja. Di sana Totenk dan teman-teman seperjuangannya kembali bermain dan menggeluti dunia seni bersama. Setelah lama berada di Jogja, kabar duka pun datang dari keluarga WS Rendra. Sang penyair telah tutup usia di tahun 2009.
Setalah kepergian WS Rendra, Ken Zuraida sang istri, memanggil kembali beberapa aktor yang sudah meninggalkan bengkel Rendra. Puncaknya, Totenk dan kawan-kawan bergabung kembali dengan bengkel yang mereka tinggalkan di tahun 2011. Saat bergabung kembali, Zuraida membuat pertunjukan keliling sebagai ajang unjuk kebolehan.
Tak lama kemudian, pria berumur 31 tahun ini memutuskan untuk bertolak ke Kota Pahlawan pada tahun 2012. Di sinilah dia memulai karir dengan membangun sebuah sanggar seni miliknya sendiri, Sanggar Lidi Surabaya, yang dibangun Oktober 2012 silam. Ia mendirikan sanggar ini tak sendirian. Ia dibantu oleh Ndinndy Indijati dan Wiek Herwiyatmo.
Baginya, sanggar ini adalah laboratorium di mana dia bereksperimen untuk melatih kemampuannya. “Disini saya mulai belajar menulis naskah drama dan mengemas sebuah pertunjukan. Saya merasa sanggar inilah yang menjadi jalan hidup saya,” cakapnya kala itu.
Perjalanan panjang telah ia tempuh, mulai dari grup tradisi di Sunda, band di Bandung, memainkan musik rock dan pop, serta membantu Komunitas Poetika di Kupang, NTT (Nusa Tenggara Timur). Pengalaman-pengalaman itu menjadi pelajaran berharga dan berarti dalam karirnya.
Dari ilmu yang ia dapat dalam perjalanan itulah ia menciptakan sebuah silabus metode pelatihan yang ia pergunakan di Sanggar Lidi Surabaya. Gabungan dari beberapa kesenian memperkaya keterampilannya di dunia seni. Tepat pada tahun 2015, ia dan rekan sanggar menciptakan pertunjukan teater di Surabaya. Gayatri, yang disebut sebagai pementasan pembangkit kembali perteateran di kota ini, telah membuat namanya mulai dikenal.
Mulai dilanda kebimbangan, itulah yang dirasakan oleh Totenk. Tiga tahun lamanya memiliki sebuah rumah seni, tak lantas membuat pria berkulit coklat ini berbangga hati. Muncul pergolakan didalam benaknya, mau dibawa ke arah mana hasil karya-karya itu. Puisi-puisi serta berbagai macam drama penuh kritik yang ia ciptakan semakin membuat dirinya gelisah.
Hal itulah yang mendorong dirinya untuk memutuskan kuliah lagi di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan mengambil hukum. Jurusan hukum dipilih Totenk tak asal-asalan. Ada alasan di balik ia memilih jurusan itu. Rasa kesadaran akan Negara dan perubahan yang baik membuatnya tidak bisa hanya berpangku tangan. Totenk tak ingin sekedar melihat saja atau sebagai penonton yang memberikan tulisan tanpa berbuat apa-apa.
“Saya harus berkembang akan karya saya,” itulah yang ia ucapkan. Dirinya mengaku sebagai pegiat yang menggunakan seni sebagai media dan bukannya dengan demo. Pertunjukan seni itulah upaya Totenk untuk menyampaikan aspirasinya.
Anak bungsu dari lima bersaudara ini selain giat di dunia kesenian, ia juga aktif membuat event di kampusnya. Mendirikan Komunitas Cinta Kebangsaan (CK15) dan membuat warta CK15 adalah aktivitas yang ia jalani sekarang. Tujuan awalnya mendirikan komunitas itu adalah agar teman-teman generasi muda dapat belajar mencintai bangsa Indonesia.
Mahasiswa semester tiga ini juga mempunyai pekerjaan seperti menjadi juri baca puisi, juri teater dan melakukan pementasan. Kegiatan itu ia geluti di malam hari, saat tidak ada jam kuliah. Totenk juga menambahkan jika ia dapat bernafas bahagia dengan proses yang ia tekuni saat ini di sanggar miliknya. Bagi pria itu, kegagalan adalah ketika ia berhenti berkarya.
Saat ditanya siapa idola yang ia idamkan, Totenk menyebutkan WS Renda dan Khairil Anwar yang selama ini telah memengaruhi hasil karya seninya. Ia juga menuturkan bahwa ia mengidolakan Nabi Muhammad SAW sebagai panutan. Ia kagum akan kemampuan Rasulullah dalam memimpin kaum Quraisy dan saat Nabi menciptakan Piagam Madinah.
Di penghujung pengenalan diri, Totenk berharap besar akan kesenian di Indonesia saat ini. Ia berharap seni mampu menularkan kejujuran dan kemurnian. Totenk bermimpi agar seni mampu menjadi sebuah kontrol dan mata air yang menjernihkan kekeruhan polemik permasalahan. (N/F: Syadza Putri Ramadhana)