Mengenakan kaos singlet dan sehelai kain panjang yang membalut pinggang, Didit Heru Purnomo bercerita tentang dirinya.
Teras rumah bernuansa etnik berkolaborasi dengan ukiran pada pilar penyangga yang dilengkapi dedaunan disekelilingnya, membuat sejuk suasana kediaman Didit Hape. Terlahir di lingkungan seni, membawanya terjun dibidang serupa. Pria yang lebih suka disapa Om Didit itu dikenal sebagai seniman, budayawan sekaligus reporter senior TVRI (Televisi Republik Indonesia) Jawa Timur. Ditambah kegiatannya mengelola sanggar Alang-alang yang berdiri sejak 10 silam.
Sejak kecil anak pasangan Suwandi Singo Saputro dan Safu’ah ini bergelut dalam dunia seni. Khususnya teater dan sastra. Bakatnya dalam bidang teater terasah dari bimbingan pamannya, Emil Sanosa. Ia sering berlatih teater di sanggar HSBI milik pamannya. Kala itu Emil berprofesi sebagai manajer dan penyiar radio. “Disitu saya juga dipercaya untuk memegang jalannya suatu pementasan, jadi sekaligus belajar jadi sutradara,” tutur pria asli Yosowilangun, Lumajang itu.
Bakatnya dalam dunia satra tampak ketika ia menginjak bangku Menengah Atas. Penggemar moge (Motor Gede) itu sempat menjadi juara pertama lomba baca puisi (deklamasi) tingkat kabupaten Lumajang selama tiga tahun berturut-turut. Selain itu, ia menjadi pioner berdirinya mading (majalah dinding) pertama SMA Negeri 1 Lumajang yang bernama Dialogia.
Bakat menulisnya berbuah manis. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas, ia mendapat dukungan dari gurunya untuk melanjutkan pendidikan ke Akademi Wartawan Surabaya tahun 1975. Selanjutnya, mantan redaksi Acta Surya itu melamar sebagai karyawan TVRI saat menginjak tingkat tiga. “Waktu itu Om Didit ngalamar bersama teman-teman. Dari lima anak yang ikut cuma Om Didit yang diterima,” aku pria 57 tahun pada 14 September nanti.
Perjalanan Karir di TVRI
Bapak tiga anak itu terpaksa meninggalkan kuliahnya ketika ditugaskan di TVRI Jakarta selama dua tahun. Selain reporter, ia bertugas sebagai kameraman, sutradara, produser dan MC. Seiring berdirinya stasiun TVRI biro Jawa Timur, tahun 1980 ia ditarik kembali ke Surabaya.
“Setiap saat menjelang deadline, kita selalu dibuat deg-degan. Karena waktu itu proses produksi dilakukan secara manual. Sehingga memerlukan waktu lama, disamping itu dituntut untuk on time dalam menyampaikan berita, kita hanya bersaing dengan waktu, karena saat itu TVRI satu-satunya stasiun televisi yang ada di Indonesia,” jelas suami Budha Ersa ini.
Pria yang identik dengan kalung dilehernya itu mengaku suka dengan hal-hal unik. Contohnya ketika ia menciptakan program acara ‘Rona-Rona’. Program acara berita ringan itu membawanya mengunjungi Osaka, Jepang. Ditahun 1996, ia diundang NHK (salah satu televisi Jepang) sebagai delegasi Indonesia dalam pertemuan insan pertelevisian se-Asia. “Selain karena kesuksesan acara, mereka mengundang Om Didit karena Om Didit dapat bekerja merangkap di berbagai bidang, sebagai reporter, kameraman dan produser sekaligus. Karena waktu itu Jepang sudah merumuskan wacana penghapuskan spesialisasi kerja. Jadi reporter bisa jadi kameraman dan sebaliknya. Begitu juga untuk bidang yang lain,” jelasnya.
Lahirnya Sanggar Alang-alang
Pada 16 April 1999, reporter senior itu mendirikan sanggar alang-alang. Ia merangkul anak terlantar untuk dilatih dengan berbagai keterampilan. Seperti Siti dan Dayat yang sempat mengikuti acara idola cilik di RCTI.
Anggapan anjal (anak jalanan) sebagai penyakit sosial dan sampah masyarakat yang mengganggu ketertiban serta keindahan kota tidak berlaku bagi Didit Hape. “Sesuai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Menurut saya pada kenyataannya hal tersebut tidak terlaksana baik. Selama ini pemerintah masih mengurusi para tenaga kerja,” tukas anak kedua dari empat bersaudara itu.
Anak-anak yang kurang beruntung disebutnya dengan sapaan Anak Negeri. Ia berharap kedepan tidak ada lagi anjal yang masih berkeliaran di jalanan kota. “Begitu miris jika melihat anak-anak usia dini bekerja dijalanan untuk menyambung hidupnya,” tutur kakek satu cucu ini. Ia menambahkan, ingin menghapus anggapan masyarakat tentang status anak jalanan yang identik dengan kekerasan.
Ia berharap sanggar alang-alang miliknya dapat memiliki tempat sendiri. “Selama ini kita masih ngontrak, jadi saya ingin punya tempat sendiri buat anak-anak, disamping harga sewa tempat yang terus naik tiap tahunnya,” ujarnya diakhir wawancara.
(Naskah/Foto: Subagus Indra)
2 Komentar
Sip!
That the next time I read a weblog, I actually hope who’s doesnt disappoint me approximately this
one. I mean, I identify it was my option to read, then again When i
thought youd have something intriguing to convey. All I
hear is really a few whining about something you to could
fix when you werent too busy looking for attention.