Udara dingin yang masih terasa di antara merah sang fajar pagi, membuatnya bergegas mengambil sepeda ontel sebagai alternatif jika motornya tidak ada. Rumah yang cukup jauh tak menurunkankan semangatnya untuk selalu berangkat pagi menuju kampus tempat ia mencari nafkah. Jam masih menunjukan pukul setengah 6 pagi, waktu yang lebih awal untuknya sampai di tempat yang sudah 4 tahun ia bersihkan setiap hari.
Sekilas sebelum jam perkuliahan berlangsung, nampak kampus sudah bersih dan rapi. Itu semua karena tangan lihai Istiwanto berserta petugas kebersihan yang membuat kampus ini tetap terlihat indah. Gayanya yang lebih banyak diam, pria yang akrab disapa To, membuatnya tak banyak dikenal oleh mahasiswa Stikosa-AWS.
Namun siapa sangka dalam perjalanan hidupnya, pria yang kini berusia 46 tahun sudah banyak makan asam garam. To yang hanya lulusan SMA sempat bekerja di bank BCA Veteran Surabaya sebagai Teller. Namun,karena merasa tidak ada kenyamanan, To memutuskan untuk keluar dari perusahaan tersebut. Ia juga sempat hidup di Bandung selama kurang lebih 4 tahun sebagai pekerja serabutan di sebuah pabrik sandal. Setelah itu To pindah ke Jakarta dan hidup bersama keluarganya.
11 tahun hidup di Jakarta, akhirnya To memutuskan untuk kembali ke tanah asalnya di Surabaya. “Karena tuntutan ekonomi, akhirnya saya memutuskan untuk membawa istri serta kedua anak saya ke Surabaya,” kata To saat ditemui disela-sela pekerjaannya membersihkan kampus.
Di Surabaya, pria yang tinggal di Gubeng Kertajaya 5F no 20 A bergabung dengan salah satu outsorcing dan ditempatkan di Stikosa-AWS untuk menjadi petugas kebersihan. Tak hanya menjadi petugas kebersihan, To juga mencari barang bekas, seperti botol plastik, kertas bekas, sampah plastik di sekitar kampus untuk menambah penghasilannya yang kurang karena harus membiayai kebutuhan keluarga, ditambah anaknya yang masih kelas 2 SMP.
Menjadi pukulan hebat bagi To yang dulunya bekerja sebagai Teller Bank, harus menerima kenyataan beralih profesi sebagai petugas kebersihan. Kehidupan yang semakin sulit tak lantas membuat ia mengeluh. “Saya tidak mengeluh dengan ini semua, karena semua ini saya lakukan dengan sekuat hati, hanya 1 alasan untuk saya tetap kuat, yakni hanya untuk keluarga,” tambahnya.
Merasa tidak dibedakan, To mengaku bahwa dirinya senang bisa bekerja di Stikosa-AWS, karena menurutnya semua elemen seperti dosen, staff, dan para mahasiswa tidak membeda–bedakan, dan bisa merangkul satu dengan yang lainnya.
4 tahun bekerja di Stikosa-AWS, ia seolah menjadi salah satu saksi perkembangan kampus ini. Dia mengaku bahwa Stikosa-AWS cukup berkembang pesat dibandingkan dulu, khususnya untuk sarana dan prasarana. Di akhir wawancara ia berharap agar Stikosa-AWS semakin baik. “Yang pasti saya senang dan saya juga berharap semoga Stikosa-AWS lebih baik lagi, ditingkatkan mutunya, supaya bisa mencetak mahasiswa yang unggul, selain itu saya berharap antara mahasiswa, dosen, serta yang lain tetap bisa saling merangkul, itu saja,” pungkasnya. (N/F: Triya)