actasurya.com – Tak lengkap rasanya ketika jika merayakan berakhirnya bulan puasa tanpa menyajikan ketupat, makanan khas Asia Tenggara maritim yang identik dengan perayaan lebaran. Panganan berbahan dasar beras yang dibungkus dari anyaman daun kelapa yang masih muda, namun ketika disantap tidak seperti lontong yang cukup halus.
Ketupat termasuk dalam makanan musiman, pedagang yang menjualnya pun hanya ada pada saat Idul Fitri. Seperti Khanipah warga Kota Mojokerto, dihari biasa ia hanya menjual lontong, namun menjelang lebaran ketupat menjadi rezeki tersendiri baginya. “Nek hari biasa ya jualan lontong, tapi nek Riyadin (Lebaran) Alhamdulillah rezeki ketupat mesti rame banget,” ujarnya.
Maka dari itu banyak hal yang disiapkan untuk membuat menu makanan pelengkap untuk menyantap ketupat, seperti opor ayam, sayur lodeh, ayam suwir, lontong dan jajanan lepet. Tradisi menyantap makanan dengan ketupat memang tidak asing lagi di masyarakat, sehingga sebagian masyarakat khususnya umat muslim beranggapan ketupat tersebut memang harus ada di saat momen lebaran.
Beberapa hari sebelum lebaran, sebagian orang berbondong-bondong ke pasar untuk membeli ketupat. Seperti Koko Putra, warga Dukuh Kupang, di lebaran tahun ini dia menyediakan ketupat di rumah. Sehingga hal ini yang membuat Koko membeli ketupat di pasar, Koko lebih memilih membeli ketupat yang sudah menjadi lontong. Koko mengaku lebih memilih membeli ketupat yang sudah jadi karena lebih praktis.
“Saya beli ketupat yang sudah menjadi lontong di pasar jadi tidak ribet, karena dulu ribet harus buat janur , ngisi beras, terus di rebus, itu kan ribet,” terangnya.
Weweh –membagi makanan ke tetangga sekitar- masih menjadi tradisi di berbagai kota, seperti Kota Mojokerto, kawasan Jalan Penarip Gang Tengah. Berbagai warga yang membuat ketupat dan makanan lainnya saling berbagi makanan kesaudara dan para tetangga sekitar, seperti Yuliana.
Wanita yang akrab dipanggil Mbak Yul ini selalu membuat ketupat, opor ayam, dan lepet sendiri, lalu memberikannya kepada saudara dan tetangga sekitar rumahnya. “Setiap lebaran aku mesti gawe dewe –bikin sendiri-, terus tak bagi-bagi nang dulur-dulur sek –para saudara dulu- baru nang tetangga deket-deket sini ae,” jelasnya.
Di Kota Banyuwangi pun tradisi seperti ini masih ada mmasyarakat yang berbagi ketupat, contohnya yang dikatakan oleh salah satu warga yaitu Fadhillah Dwi Dewanti. “Tiap tahun kan ada kupatan, di daerah sini orang-orangnya suka bikin sendiri terus dibagi-bagiin ke tetangga-tetangga,” kata wanita yang akrab disapa Dila.
Dila mengaku memang di tiap tahunnya keluarganya selalu membuat ketupat sendiri, apalagi dengan adanya pohon – pohon kelapa di halaman belakang rumah mempermudah untuk membuat ketupat sendiri.
“Emang biasa bikin sendiri, kayak tradisi gitu. gak enak kata nenekku kalau beli, kurang pas. Apalagi disini kita nggak beli janur, tinggal ambil di pohon kelapa belakang rumah sudah siap,” kata Dila.
Lebaran ketupat biasanya di gelar pada hari ke tujuh setelah Idhul Fitri. Ketupat menjadi simbol “maaf” bagi masyarakat Jawa, yaitu ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya. Apabila ketupat tersebut dimakan, secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala salah serta khilaf antar keduanya terhapus. (N/F : Esti, Odif)