actasurya.com – Jembatan Merah sungguh gagah berpagar gedung indah. Penggalan syair lagu yang pernah dilantunkan oleh musisi keroncong legendaris Gesang, seolah melukiskan betapa indahnya Jembatan Merah pada saat itu. Jembatan ini juga menjadi saksi kegigihan arek-arek Suroboyo menghadapi tentara Inggris.
Jembatan Merah terletak di kawasan Surabaya Utara, persis di bawah jembatan terdapat aliran sungai Kalimas yang melintasi kawasan tersebut. Tidak itu saja, di sekitar jembatan berdiri kokoh bangunan bergaya kolonial modern Belanda yang masih setia menghiasi jalan-jalan di sekitar kawasan Jembatan Merah hingga saat ini.
Jembatan Merah dulunya terbentuk atas kesepakatan antara Sultan Pakubuwono II dari Mataram dengan VOC sejak 11 November 1943, yang sekaligus telah menjadikan kawasan jembatan merah ini sebagai daerah perniagaan. Konon, siapa sangka jika kawasan Jembatan Merah ini dulunya menjadi kawasan yang sangat vital karena menghubungkan daerah-daerah perniagaan. Sehingga kawasan ini dulunya menjadi daerah perdagangan bangsa asing sampai kepelabuhan Perak.
Meski telah menjadi kawasan perniagaan, jembatan tetaplah jembatan. Fungsi jembatan merah sampai sekarang pun hanya digunakan sebagai penghubung jalan antara Jl.Rajawali dan Jl.Kembang Jepun, serta jalan-jalan lain seperti Jl. Veteran.
Sementara itu, jika sekilas menatap Jembatan yang pernah menjadi arena pertempuran paling ganas, seakan tidak lagi memberikan kesan elegan maupun eksotis seperti yang ada pada cerita. Saa tini yang tersisa hanya keadaan yang kotor, dekil, tidak tertib dan kesemrawutan.
Itu terbukti karena keadaan Jembatan Merah sekarang telah disulap menjadi tempat mangkal para tukang becak yang berjejer di sebelah kiri dan kanan jalan. Serta di samping trotoar jembatan digunakan sebagai pedagang kaki lima. Hal ini membuat jalan raya sering terjadi kemacetan dan tidak sedap di pandang, apalagi di sebelah selatan dan barat ada sebuah terminal angkutan umum yang memberi kesan terabaikannya.
“Sungguh disayangkan jika jembatan yang pernah menjadi tempat bersejarah ini hanya menjadi alat penghubung, apalagi keadaannya juga semrawut begini dan sampai sekarang tidak ada tindakan dari pemerintah kota untuk menata kembali kawasan jembatan merah ini,” ujar Suyanto, selaku tukang becak yang puluhan tahun sudah mangkal di kawasan jembatan merah tersebut.
Namun Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Kebudayaan Surabaya mengelak jika pemerintah dianggap mengabaikan Jembatan Merah. “Memang, pemerintah kota telah ikut turun tangan dengan melakukan perawatan terhadap jembatan merah dengan mengecatnya 1 tahun sekali serta mengganti kap lampu yang sudah pecah. Sebenarnya bukan itu saja ketertiban dan kenyamanan harus tetap diupayakan,” tutur Wiyono selaku pegawai Dinas Kebudayaan Surabaya.
Walau pemerintah kota sudah melakukan perawatan setiap tahun, tak dipungkiri jika nasib Jembatan Merah saat ini sangat mengenaskan untuk ukuran bangunan bersejarah di Surabaya. Jika tak ada niat untuk melestarikan salah satu asset paling berharga di kota Pahlawan ini. Bukan tidak mungkin jika kelak Jembatan Merah hanya akan ada di dalam buku dongeng saja, hanya tinggal sebuah cerita kenangan.
naskah dan foto : Navi Satus Tsania