Salah satu saksi pengeboman di SMTB pada 13 Mei 2018, Suster Wiwik ceritakan peristiwa dan ia mengira hanya ledakan kompor.
Actasurya.com – Mengingat peristiwa 13 Mei 2018, tepatnya satu tahun silam terjadi insiden pengeboman oleh teroris di beberapa Gereja di Surabaya, seperti Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB). Memutar kembali memori yang mencekam Kota Pahlawan, pada peluncuran buku “Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan” oleh IDEA.JUDGE.ACT Idenera, mendatangkan saksi kejadian peristiwa pengeboman, seperti Biarawati Wiwik Suster di SMTB, Deswanda aktivis gereja, Romo Kurdo, Pastor Paroki Gereja SMTB dan masih banyak lainnya.
Deswanda mengatakan, jika ia diberikan pertanyaan masih trauma atau tidak terkait bom bunuh diri satu tahun silam. Dengan tegas, dia menjawab ‘Tidak’.
Mengapa? Lanjut Deswanda, karena ia terlalu mendalami ketakutan yang membuat para pelaku merasa apa yang mereka lakukan berhasil dan membuat para korban celaka. Terutama di gereja SMTB, untuk merasa ketakutan dan tidak akan kembali lagi beribadah.
“Tapi nyatanya, kami berhasil untuk memaafkan dan kembali lagi di gereja ini,” kata Deswanda di teras perpustakaan SMTB, Senin (13/5/2019).
Selain itu, Biarawati Wiwik atau yang kerap disapa Suster Wiwik mengatakan, jika peristiwa pengeboman itu sebagai peristiwa ‘Iman’. Juga memberikan kekuatan dan bersama melupakan dengan melakukan aktivitas seperti biasa tanpa mengingat insiden menegangkan.
“Peristiwa itu tak akan pernah terlupakan. Untuk melupakan pasti tidak bisa tapi bagaimana jika peristiwa itu terjadi? Kami bisa melihat dalam diri kita sendiri, siapakah yang salah, tapi jika bisa bersatu, kita bisa siap sedia itu tak kan pernah terjadi,” ujar dia.
Sementara itu, Romo Kurdo menjelaskan, saat dia melihat, bahwa melalui peristiwa bom 13 Mei 2018 silam membuat semua orang diingatkan kembali pada nilai persaudaraan sejati.
“Dengan peristiwa tersebut, saya merasa bahwa Gereja Katolik sendiri diingatkan akan pentingnya persaudaraan sejati yang disadarkan pada kesetaraan, solidaritas dan kesatuan sebagai sesama manusia,” katanya.
Menurutnya, peristiwa tersebut juga menawarkan bentuk kemartiran baru. Namun, pada masa sekarang kemartiran tidak lagi dipandang sebagai mempertahankan Iman saja, tetapi perdamaian, kemanusiaan dan persaudaraan.
Terkait dengan adanya peristiwa bom, pada prelaunching buku Idenera, terdapat tulisan masyarakat Indonesia bahkan luar negeri turut membuat Idenera.com sebagai penerbit buku. Juga mengingat memori pengalaman dari korban aksi teroris, mulai dari kumpulan peristiwa 1000 lilin yang diadakan di Taman Apsari Surabaya, hingga mengenang 40 hari korban.
Serangkaian acara tersebut terdapat diskusi dan dilanjut buka bersama lintas agama yang menjadi serangkaian acara dari pihak gereja STMB. Kemudian para jemaat beribadah misa Doa Rosario bagi umat Katolik, dan umat muslim berbuka puasa serta menjalankan ibadah Sholat Maghrib. (N/F: cla/hni)