Actasurya.com – Siapa yang terima apabila lahanya diambil? Siapa yang rela haknya dirampas? Siapa juga yang ikhlas apabila ditangkap tanpa sebab yang jelas? Masih banyak lagi kegelisahan perihal Kasus Lahan Pakel yang harus dipertanyakan.
Terletak di Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, Desa Pakel dikelilingi kawasan hutan yang dikuasai Perhutani dan kawasan perkebunan yang dikelola pihak swasta.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (Walhi Jatim), kasus perampasan Lahan Pakel berlangsung sejak tahun 1925 silam. Selama hampir seabad warga pakel masih belum menemui titik terang dari kasus ini. Sejak 24 September 2020 lalu, warga Pakel Banyuwangi melakukan pendudukan (reclaiming) di atas lahan yang dirampas oleh perusahaan perkebunan swasta PT Bumi Sari. Lahan yang semula milik warga dengan merujuk pada ‘Akta 29’ tentang ‘Soerat Idin Memboeka Tanah’ (1929) mengenai pembukaan lahan sebagaimana dikelola sepenuhnya oleh warga Pakel yang mayoritas berprofesi sebagai petani tanpa lahan.
Pasca pendudukan, sebagai bentuk dari perjuangan, warga pakel masih terus melakukan upaya apapun yang bisa dilakukan, termasuk dalam litigaai hukum hingga perjuangan di lahan. Namun dalam perjalanannya, tentu ada banyak upaya yang menghalangi perjuangan warga, sehingga tak sedikit mengalami kemerosotan semangat dalam memperjuangkan hak. Kriminalisasi adalah salah satu halangan itu, dan juga gencar-gencarnya memaksa dan menyerang pada perjuangan warga Pakel.
Belakangan ini, kasus tertangkapnya 3 orang warga Pakel mencuat di media (3/2/23). Tiga diantaranya adalah Mulyadi (Kepala Desa Pakel), Suwarno (Kepala Dusun Durenan), dan Untung (Kepala Dusun Taman Glugoh). Ketiganya dikenakan masalah penyebaran berita bohong yang menyebabkan keonaran, hingga kini ketiganya masih ditahan dan belum mendapatkan kepastian hukum. Meskipun begitu, warga Pakel tetap beraktivitas dan bercocok tanam seperti biasa dengan tetap melawan.
Warga pakel sendiri juga menjadi pemasok komoditas tanaman keras dan tanaman cepat. Seperti jagung, cabe, dan singkong, adapula durian, manggis, petai, dan jengkol.
Dalam buku “Atas Nama Tanah Pakel”, diceritakan kisah perjuangan warga Pakel yang diterbitkan oleh Puputan Pakel Committee. Buku ini lahir dari arsip-arsip lawas warga Pakel. Tak hanya membahas sejarah dan kronologi, buku ini memiliki data-data yang sangat krusial seperti, catatan Pengacara lama bahkan catatan Bupati jaman kolonial Belanda yang bersangkutan dengan Desa Pakel.
Beberapa anggota Aksi Solidaritas Surabaya dan Puputan Pakel Committee membedah buku “Atas Nama Pakel” (27/5)
Atas dasar ini, Jaringan Solidaritas Surabaya yang peduli terhadap Pakel, mengadakan kegiatan membedah buku “Atas Nama Tanah Pakel” pada Sabtu (27/3/23). Kegiatan ini diadakan di Warung Mbah Cokro di Jl. Raya Prapen no 6 dengan penampilan pameran arsip perkembangan kasus Pakel.
Pameran arsip “Cerita dari Pakel” yang menceritakan perjalanan warga Pakel merebut tanah mereka, saat acara bedah buku di Warung Mbah Cokro (27/5/23).
Cahyo selaku perwakilan dari Puputan Pakel Committee menyampaikan tujuan diselenggarakan kegiatan ini adalah untuk membangun perang wacana tentang data atau sejarah warga Pakel.
“Tujuan diadakannya acara ini kami ingin membuat perang wacana dan perang tandingan tentang data atau sejarah warga pakel, agar orang-orang tau bagaiamana perjuangan warga pakel” jelas Cahyo.
Cahyo juga menambahkan bahwa rencanyanya kegitan bedah buku ini akan diadakan di beberapa kota, seperti, Jember, Tulungagung, Malang, Bali, Kediri, jogja, bahkan Bogor, dan Jakarta. Puputan Pakel Committee berharap masyrakat bisa bersolidaritas dalam bentuk apapun seperti melalui tulisan-tulisan atau apapun jenisnya untuk membantu menyuarakan suara warga Pakel.
(N/F: Rad/Rad)