actasurya.com – Apa yang membedakan Jurnalis warga dan jurnalis media? Atau bagaimana mengetahui informasi yang kita baca ini hoax atau bukan?
Dua poin tersebut menjadi inti pembicaraan dalam workshop bertajuk Etik dan Profesionalisme Jurnalis: Profesionalisme Jurnalis Menghadapi Hoax di Hotel Ayola La Lisa Surabaya, Jumat (11/05). Acara ini diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam rangka mengawali pelaksanaan Uji Kompetensi Jurnalis yang akan dilangsungkan Sabtu besok.
Yoseph Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers, mendedahkan bagaimana sebenarnya sebuah tulisan atau informasi dianggap sebagai fakta. Menurut Yoseph, yang boleh dianggap sebagai fakta adalah tulisan tersebut harus berupa berita.
Berita diperoleh dari kerja jurnalistik. Cirinya, berita tersebut diproduksi oleh media yang sudah diverifikasi Dewan Pers, bukan berasal dari media sosial.
“Jadi hati-hati media yang punya media sosial, itu bisa rentan menuju hoax,” jelasnya.
Media sosial, seperti yang dijelaskan oleh Yoseph, merupakan tempat hoax paling banyak ditemukan. Jadi cara membedakan hal tersebut hoax atau bukan, kita lihat platformnya.
Yoseph membagi beberapa poin pembeda yang bisa dijadikan acuan. Salah satunya, informasi di media sosial tidak melalui jenjang hirarki. Maksudnya, di media berita, naskah yang ditulis oleh wartawan harus melalui penyaringan dari Redaktur dan Pemimpin Redaksi sebelum dicetak.
Sebenarnya, ini kembali pada kode etik jurnalistik. Bahwa yang berhak memberitakan peristiwa itu adalah wartawan.
“Karena kita yang pelajari, kita yang punya kode etiknya. Jadi hanya wartawan lah yang berhak membuat berita,” tambah Yoseph.
Hal ini menjawab perbedaan jurnalis warga dan jurnalis media. Selain jurnalis media punya kode etik, juga jurnalis warga tidak mengerti cara memproduksi berita.
“Mereka tidak tahu tentang tulisan yang mengandung 5W + 1H, piramida terbalik, fungsi pers yang sesungguhnya dan lain-lain,” jelas Budi Santoso, Badan Penguji UKJ AJI yang juga menjadi pembicara pada hari itu.
Budi memberi contoh, seorang warga hanya melaporkan begitu saja, memberi informasi dengan bahasa mereka. Sedangkan jurnalis, mereka punya patokan, harus pakai bahasa indonesia yang baik dan benar.
Dari Ribuan Media, Media Berita yang mana yang bisa dipercaya?
Menurut data Dewan Pers, ada 43.300 media di Indonesia. Sedangkan yang terverifikasi baru 163 media. Jumah yang terverifikasi tersebut merupakan media yang sudah berbadan hukum.
Tetapi, menurut Yoseph, di luar dari media terverifikasi tersebut, masih bisa dipercaya. Dengan syarat isi tulisan media tersebut merupakan hal yang positif. Yoseph membuat rumusannya dalam 4 kotak kuadran.
Dua bagian teratas merupakan media yang terverifikasi dan isi tulisannya positif. Sedangkan dua yang terbawah adalah media yang tulisannya berisi konten negatif dan tidak terferivikasi.
Bagaimana dengan media komunitas atau pers mahasiswa?
Menurut Yoseph, pers mahasiswa merupakan media yang bekerja secara jurnalistik. Kedua media tersebut memberitakan informasi yang positif. Jadi, mereka masih bisa dipercaya.
“Bukan status badan hukumnya atau orangnya tapi produk jurnalisnya dulu yang kita lihat. Melalui perncanaan atau gak? Apakah melalui hirarki atau tidak? Apakah ada pelanggaran kode etik jurnalistik?” jelas Yoseph.
Semuanya kembali pada Kode etik dari wartawan dan pemenuhan format tulisan atau produk beritanya.
Dalam acara tersebut, AJI bekerjasama dengan Kedutaan Besar Australia juga. Chris Barnes yang mewakili kedutaan menjelaskan juga bahwa hoax adalah masalah global yang harus diberantas bersama. (N/F: Ebi)